Rabu, 11 Juni 2014


Era globalisasi berdampak pada segala segi kehidupan, entah itu baik ataupun buruk. Masalah kesetaraan gender dan emansipasi perempuan yang kerap kali didengung-dengungkan oleh para aktivis seolah menemukan titik terangnya pada zaman modern sekarang ini. Tak heran, saat ini banyak bermunculan para srikandi dan kartini-kartini kecil di segala bidang. Sebut saja Miranda Gultom yang pernah menjadi orang nomor satu di jajaran direksi Bank Indonesia (BI). Ada pula Susi Susanti, srikandi peraih emas pada Olimpiade Barcelona tahun 1992. Tidak kalah garangnya, AKBP Ratnawati Hadiwijaya mencatatkan dirinya sebagai Kapolres perempuan pertama di jajaran Polda Metro Jaya. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, muncul suatu permasalahan yang justru terkesan kontradiktif dengan gerakan kesetaraan gender dan emansipasi perempuan tersebut.

Masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu masalah global yang erat kaitannya dengan kesehatan perempuan dan hak asasi manusia. Tindak kekerasan ini sering digunakan sebagai cara untuk mempertahankan dan memaksakan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Dampaknya sangat merugikan terhadap kesehatan kaum perempuan, baik kesehatan fisik maupun psikis.
Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) menurut Deklarasi tentang Eliminasi Kekerasan terhadap Perempuan, yang telah diakui dunia pada tahun 1993, didefinisikan sebagai “segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang berakibat, atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi”. Dari definisi tersebut di atas, jelas dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik belaka, namun juga kekerasan seksual, baik yang terjadi di dalam keluarga, masyarakat, ataupun negara, termasuk di dalamnya kegiatan penjualan perempuan dan prostitusi paksa.
Paling sedikit satu di antara lima penduduk perempuan di dunia, suatu saat dalam hidupnya, pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh laki-laki. Secara global, diperkirakan KtP setara dengan kanker dalam menyebabkan kematian dan kecacatan pada golongan wanita usia subur, jumlah kasusnya melebihi jumlah kasus kecelakaan lalu-lintas dan penyakit malaria. Pada tahun 1998, KtP merupakan penyebab kematian ke-10 terbanyak di dunia pada golongan wanita usia subur. Namun demikian, tindakan terhadap laki-laki pelaku pemukulan atau pemerkosaan cukup langka bila dibandingkan dengan jumlah tindak kekerasan.
Dari sekitar 50 survei penduduk di seluruh dunia, 10-50% perempuan mengaku pernah dipukul atau disakiti secara fisik oleh pasangannya pada suatu saat dalam hidupnya. Kekerasan fisik terhadap pasangan hampir selalu diikuti dengan kekerasan psikis, dan sekitar sepertiga sampai lebih dari setengahnya diikuti oleh kekerasan seksual. Sebagai contoh, di antara 613 orang yang pernah mengalami kekerasan di Jepang, 57% di antaranya mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Hanya 8% di antaranya yang mengalami kekerasan fisik saja. Di Meksiko, 52% perempuan yang mengalami kekerasan fisik juga mengalami kekerasan seksual oleh pasangannya. Di Nikaragua, dari 188 perempuan yang mengalami kekerasan fisik oleh pasangannya, hanya 5 orang saja yang tidak mengalami kekerasan seksual, psikis, atau keduanya. Studi ini juga menunjukkan bahwa kekerasan terjadi secara berulang, 60% kasus mengalami kekerasan lebih dari sekali dan 20% kasus mengalami kekerasan berat hingga lebih dari 6 kali semasa hidupnya.
Data tentang KtP di Indonesia masih sulit diperoleh. Namun demikian, bukan berarti tidak terjadi KtP di Indonesia. Berbagai indikasi menunjukkan bahwa kejadiannya cukup sering, namun jarang mengemuka. Beberapa kasus yang sangat berat sesekali diliput oleh media massa, yang tak jarang berakibat fatal. Data yang berasal dari catatan kasus yang ada di kantor polisi pada rentang waktu tahun 1992-1994 menunjukkan adanya 8.525 kasus KtP dan 3.000 kasus perkosaan yang dilaporkan. Kejadian KtP ditemukan di semua kalangan sosio-ekonomi.
Data yang dikumpulkan oleh Kalyanamitra dari surat kabar menunjukkan bahwa pada tahun 1996 tercatat ada 37 kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang 68% di antaranya berakibat fatal. Jumlah perkosaan terjadi pada korban berusia 5-12 tahun, 44% pada korban berusia antara 12-18 tahun, dan 22% pada korban berusia 18-50 tahun. 74% pelakunya biasanya merupakan orang yang dikenal oleh korban.
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Dari semua jenis kekerasan yang dialami perempuan, jenis kekerasan yang paling sering ditemukan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan domestik. Perempuan lebih sering didera, diperkosa, atau dibunuh oleh pasangannya atau mantan pasangannya daripada oleh laki-laki lain. Walaupun perempuan juga dapat melakukan kekerasan dan penyalahgunaan terhadap sesama jenis, namun sebagian besar kejadian penyalahgunaan pasangan dilakukan oleh laki-laki terhadap pasangan perempuannya. Hal ini dapat terjadi berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun, sehingga sering menimbulkan ketakutan dan rasa cemas yang hebat pada korban.
KDRT timbul sebagai akibat kombinasi dan interaksi antara faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, dan politik, seperti riwayat kekerasan, kemiskinan, konflik bersenjata, namun dipengaruhi pula oleh beberapa faktor risiko dan faktor protektif. Suatu hal yang nyata bahwa KDRT sangat dipengaruhi oleh ketimpangan gender. Budaya yang mempunyai peran gender yang kaku, yang mengaitkan keperkasaan laki-laki dengan dominasi dan kendalinya terhadap perempuan, cenderung menghasilkan prevalensi KDRT yang lebih besar.
Siklus KDRT
Pada umumnya, korban KDRT menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya merupakan kekhilafan sesaat. Perilaku KDRT biasanya mengikuti pola tertentu sebagai berikut:
  1. Tindak kekerasan/pemukulan: pelaku melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
  2. Permintaan maaf: pelaku menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada korban.
  3. Bulan madu: pelaku menunjukkan sikap mesra kepada pasangannya, seolah-olah tidak pernah melakukan kekerasan.
  4. Konflik: periode mesra akan berakhir ketika terjadi konflik yang kemudian membawa pelaku untuk melakukan kekerasan lagi, dan seterusnya.
Dengan demikian, hubungan antara perempuan dan pasangannya selalu diliputi oleh rasa cinta, harapan, dan teror. Rasa cinta dan sayang kepada pasangan berusaha memaklumi dan mencoba untuk mengerti, serta berusaha menganggap bahwa kekerasan timbul akibat kekhilafan yang bersifat sesaat. Korban juga berharap bahwa pasangannya akan berubah menjadi baik, sehingga ketika pelaku meminta maaf dan bersikap mesra lagi harapan tersebut terpenuhi untuk sementara waktu. KDRT biasanya berulang, sehingga hal ini menimbulkan rasa terancam pada korban bahwa setiap saat ia mungkin akan dianiaya lagi, ketakutan ditinggal, dan sakit hati atas perlakuan pasangannya.
TINDAKAN PREVENTIF DAN PROTEKTIF TERHADAP KORBAN KtP
Pencegahan dan penanggulangan KtP merupakan upaya yang perlu ditangani secara lintas program dan lintas sektoral, dengan keterlibatan secara aktif LSM dan anggota masyarakat sebanyak mungkin. Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan memerlukan komitmen jangka panjang dari pihak-pihak yang dapat berperan. Sektor kesehatan perlu memulai upaya ini agar dapat berkontribusi dalam pencegahan dan penanggulangan KtP di tingkat pelayanan dasar.
Korban KtP hendaknya meminta bantuan kepada pihak lain yang dapat dipercaya, sehingga permasalahan tersebut tidak menjadi berlarut-larut. Akan tetapi, banyak perempuan yang enggan mengemukakan secara terbuka tentang kekerasan yang dialaminya, karena malu, ketergantungan ekonomi terhadap pasangan, takut dipersalahkan, atau takut berurusan dengan polisi; sementara tetap tidak ada jaminan untuk terlindungi dari tindak kekerasan pasangannya. Banyak pula di antaranya yang juga dibatasi mobilitasnya oleh pasangan yang melakukan tindak kekerasan, sehingga bila ke fasilitas kesehatan selalu didampingi pasangannya. Korban biasanya tidak mau berterus terang di depan pelaku tindak kekerasan.
Korban KtP hendaknya diarahkan untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya kepada pihak yang berwenang, akan tetapi cara kekeluargaan hendaknya menjadi prioritas penyelesaian kasus-kasus KtP. Bila tetap ingin melanjutkan ke jalur hukum, korban hendaknya mendatangi Kantor Polres wilayah tempat kejadian perkara (TKP), oleh karena di Polres-Polres tersebut telah ada satuan petugas yang khusus menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hendaknya diingat bahwa pelaporan kepada polisi akan menyebabkan kasus kekerasan tersebut menjadi perkara pidana yang dapat menyebabkan pelaku kekerasan tersebut ditahan oleh polisi.
Pelaporan kepada pihak kepolisian menimbulkan konsekuensi terbitnya surat permintaan visum (SPV) terhadap korban tersebut ke instansi kesehatan yang ditunjuk untuk melakukan visum perlukaan korban kekerasan tersebut. Oleh karena polisi bukan ahli tentang tubuh manusia, maka sesuai pasal 133 KUHAP, polisi akan meminta bantuan dokter untuk melakukan pemeriksaan terhadap korban KtP tersebut dan menerbitkan Visum et Repertum (VeR) korban tersebut. VeR inilah yang menjadi dasar polisi untuk menentukan pasal yang akan menjerat pelaku tindak KtP tersebut. Akan tetapi, VeR bukan satu-satunya sarana untuk membuktikan telah terjadinya tindak kekerasan terhadap korban, polisi pun secara aktif mengumpulkan bukti-bukti lainnya, termasuk keterangan saksi-saksi mata yang melihat atau mendengar langsung kejadian kekerasan tersebut.
Selanjutnya, korban KtP hendaknya dirujuk kepada organisasi/lembaga swadaya masyarakat sesuai dengan persetujuannya, supaya mendapat pertolongan lebih lanjut. Bila belum ada hubungan dengan sarana tersebut, maka dapat dikembangkan suatu jaringan dengan kelompok LSM perempuan, baik pemerintah maupun non-pemerintah, yang menyediakan bantuan bagi korban KtP.
Dengan demikian, diharapkan para perempuan, khususnya perempuan Indonesia, dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran diri terhadap ancaman kekerasan yang mungkin akan menghampirinya, sehingga dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat membantu tata laksana korban kekerasan terhadap perempuan untuk mendapatkan pertolongan yang memadai.

0 komentar:

Posting Komentar

    Pribadi

    Pribadi
    Ya, beginilah tampang saya jarak dekat.

    Pengikut