Kita membutuhkan media massa untuk memenuhi kebutuhan kita akan informasi. Setiap hari kita membaca surat kabar, majalah, dan menonton siaran berita di televisi dan radio untuk memahami apa yang terjadi dengan lingkungan kita. Artinya, setiap hari kita berhadapan dengan penggunaan bahasa jurnalistik, yang hingga kini masih bisa kita.
Tapi tak banyak khalayak yang menyadari bahwa bahasa jurnalistik penting bagi pembaca. Kebanyakan khalayak hanya tahu membaca, membaca, dan membaca. Setelah itu, ya entah bagaimana nasib surat kabar tersebut. Ada yang berakhir di tumpukan koran, ada yang disimpan untuk dikoleksi sebagai sejarah, ada juga yang menjadi bungkus cabai di tukang sayur.
Seorang jurnalis harus memiliki kemampuan menulis yang luar biasa, yang bisa membius, bahkan memanjakan keingintahuan dan imajinasi pembaca. Tentu saja, bagaimana kita bisa betah membaca surat kabar yang berisi sekian banyak halaman, sekian ratus berita setiap harinya, jika kata-kata yang digunakan cenderung “acak-acakan”, tidak teratur, tidak menarik, dan terlalu panjang. Khalayak tentu akan lebih memilih surat kabar atau majalah dengan susunan bahasa jurnalistik yang paling baik, menarik, dan mudah dimengerti.
Media massa memiliki tiga fungsi pokok, yaitu fungsi informasi, edukasi, dan hiburan. Nah, bisa jadi inilah yang menjadikan mengapa bahasa jurnalistik haruslah komunikatif, menarik, dan yang paling penting, berdasarkan aturan yang berlaku, dalam hal ini EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) contohnya. Media massa yang memegang fungsi edukasi ikut memiliki andil dalam mencerdaskan bangsa, sehingga penulisannya tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Sebuah media massa nasional yang bermodal besar pun, kalau tidak didukung oleh penggunaan bahasa jurnalistik dan EYD yang sesuai, bisa dipastikan akan berkurang pembacanya dan menurun kredibilitasnya sebagai sarana belajar dan informasi khalayak.
Kunjana Rahardi dalam bukunya Asyik Berbahasa Jurnalistik: Kalimat Jurnalistik dan Temali Masalahnya mengemukakan bahwa sosok bahasa di dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers yang menunjuk pada bahasa yang dipakai untuk menyampaikan sosok fakta, laporan, berita, sosok tulisan yang terjadi hari ini, saat ini. Jadi bukan sosok peristiwa yang terjadi di masa lalu. Itulah sebabnya bahasa jurnalistik harus dinamis, meskipun tetap tak bisa lepas dari aturan-aturan dan etika yang berlaku. Gaya penulisan merupakan selera masing-masing penulis dalam mengungkapkan informasi dan berita, tetapi standard kebahasaan sifatnya baku.
Ada lima ciri dalam ragam bahasa jurnalistik, yaitu komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, serta tidak mubazir dan tidak klise (Kunjana, 2005 : 20). Akan tetapi, meskipun menggunakan prinsip ekonomi kata, menurut Rosihan Anwar (2004) bahasa jurnalistik sama sekali tidak boleh mengabaikan ketentuan-ketentuan bahasa baku dan kaidah-kaidah ejaan serta aturan tata tulis yang berlaku. Mulanya, filosofi koran memang efsiensi bahasa karena keterbatasan space, asalkan maknanya benar. Dalm artian, kata-kata yang tidak menghilangkan makna bisa dipotong. Tapi tentu tidak sebatas memperpendek kata, sebab kalau sekadar memperpendek kata, surat kabar bisa menggunakan bahasa SMS. Surat kabar dibaca orang banyak dari berbagai kalangan, maka bahasanya harus jelas, jernih, tidak membuat orang bingung ketika membaca.
Menurut Ashadi Siregar dalam bukunya Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa, penguasaan wartawan atas bahasa yang digunakan untuk menyampaikan suatu informasi sangat menentukan apakah informasi itu dapat dipahami pembaca. Walaupun informasi itu penting bagi pembaca, jika disampaikan lewat bahasa yang buruk sehingga sukar dimengerti, berarti wartawan gagal menjalankan perannya dengan baik.
Ashadi Siregar juga mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa yang cermat dalam penulisan bukan semata-mata demi citarasa kebahasaan. Berita adalah rekonstruksi tertulis, hanya lewat bahasa yang cermatlah rekonstruksi tertulis itu dapat menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi. Apabila kata, kalimat, atau alinea ditulis tanpa kecermatan, besar kemungkinan antara gambaran yang diperoleh pembaca dan kenyataan jauh berbeda. Gambaran yang melenceng itu terbentuk bukan hanya karena pilihan kata atau susunan kalimat yang salah, melainkan juga akibat pilihan kata atau susunan kalimat yang justru memperhalus makna (eufimisme) dan sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
Demikianlah sebabnya, mengapa bahasa jurnalistik harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, termasuk EYD. EYD itu tentu sudah dipertimbangkan kejelasan dan keefektifannya serta masih terus diperbaharui, mengikuti sifat bahasa itu sendiri yang dinamis. Kalau bahasa jurnalistik mau dibawa kabur dari ketentuan EYD, kemana lagi kita akan berpijak?
Seringkali kita mendengar analogi seperti ini: bila seorang prajurit menggenggam senapan dengan butiran peluru sebagai senjatanya, maka seorang jurnalis memiliki kertas dan pulpen dengan butiran kata-kata yang siap “menyerang”. Jurnalis harus memiliki kemampuan dalam mengefektifkan penggunaan bahasa di media massa, yang juga memperhatikan prinsip ekonomi kata. Bahasa jurnalistik. Penggunaan bahasa jurnalistik penting agar informasi dalam bentuk laporan berita ini dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan begitu tujuan utama kegiatan jurnalistik pun dapat tercapai, yakni menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Begitulah salah satu cara pers memainkan peranan edukasinya kepada masyarakat Indonesia.